Oleh Mutia Shafa Sejati pada Senin, 25 April 2022 pukul 13.10 WIB
Kicauan
burung terdengar ramai di Langit. Cuaca yang tidak terlalu panas, namun tidak
juga terlalu dingin membuat udara cukup sejuk disore ini. Jalanan hari ini
cukup ramai, bunyi klakson kendaraan mulai terdengar dan saling bersautan. Aku melangkahkan
kakiku dengan santai menuju tempat tinggalku yang tidak jauh dari halte busway
tempat aku berhenti. Di tengah perjalanan menuju halte, ada seorang ibu datang
menghampiriku.
“Gorengannya Mbak,” tawarnya. Aku menghentikan langkahku lalu bertanya
padanya, “Ada apa aja, Bu?”
“Ada pisang goreng, tahu, bakwan, sama tempe.”
“Aku mau ya Bu, 15 ribu. Campur aja,” ujarku, lalu aku kembali bertanya
padanya, “Ibu udah lama jualan?”
Ia menjawab, seraya memasukkan gorengan ke dalam plastik, “Udah Mbak,
udah sekitar 6 tahun.”. Aku terdiam, lalu mengangguk secara perlahan. “Biasanya
jualan dari jam berapa Bu?” tanyaku.
“Jam 11 atau jam 12 Mbak, seselesainya masak,” Aku kembali mengangguk,
seraya melihat jam yang melingkar ditanganku. Sekarang, tepat pukul 4 sore.
Aku kembali bertanya, “Gak cape Bu?” Beliau memberikan plastik yang
sudah berisi gorengan kepadaku seraya tersenyum, “Kalau ditanya seperti itu,
jelas capek Mbak. Tapi untuk memenuhi kebutuhan, saya harus jualan seperti ini.
Saya juga punya anak yang masih sekolah.”
“Anak ibu umur berapa?” tanyaku seraya mengambil platik yang berisi
gorengan itu. “Anak saya ada dua, yang satu umur 15 tahun, satunya lagi 8
tahun,” jawabnya.
“Perjalanan saya masih jauh Mbak, anak masih kecil. Saya mau anak saya
berpendidikan tinggi, biar mereka gak perlu susah-susah cari uang buat
kehidupan mereka nanti,” lanjutnya.
Aku terdiam,“Mbak?” ujarnya yang membuat aku kembali tersadar, “Eh iya
bu, ini uangnya,” Ucapku seraya memberi uang kepadanya. Aku yang melihat Beliau
mempersiapkan kembalian, buru-buru aku bilang kepadanya, “Gak usah kembali Bu,
buat jajan anaknya aja.”
“Tapi Mbak, ini banyak banget,” aku tersenyum lalu mengelus lengannya
dengan pelan, “Gapapa Bu, Ibu sehat-sehat ya. Biar bisa lihat anak Ibu sukses
nanti.”
Ia tersenyum, “Makasih banyak Mbak?”
“Klara,” ucapku. Beliau mengangguk, “Makasih banyak ya Mbak Klara,
semoga Mbak Klara sekeluarga sehat selalu dan dikasih umur yang panjang.”
Aku tersenyum, “Aamiin, terima kasih juga ya Bu atas doanya.”
“Sama-sama Mbak, saya pamit jualan lagi ya Mbak,” Ia pamit membuatku
mengangguk, “Hati-hati ya Bu.” Ia mengangguk, lalu mulai melangkahkan kakinya.
Aku masih menatap kepergiannya sampai raganya menghilang ditengah keramaian
jalanan sore ini.
Aku menghela napas dengan pelan, kembali teringat perjalanan ibuku yang
tidak mudah untuk menyekolahkan aku dan kakak-kakakku. Mengingat, ibu
satu-satunya orang tua yang kita miliki. Ibuku hebat, tidak pernah mengeluh
kepada kita tentang seberapa lelahnya menjadi Beliau.
“Terima kasih ya bu, terima kasih untuk tetap berjuang demi aku dan
kakak-kakak,” ucapku dengan lirih di tengah ramainya jalanan sore itu.
Percakapan tadi, membuat aku tersadar bahwa seorang Ibu akan selalu
berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya. Tidak peduli seberapa lelahnya
ia mencari uang, ia akan tetap berusaha. Terima kasih, perempuan-perempuan
hebat.
0 Komentar