oleh Lia Lutfi Nurraini pada tanggal 25 November 2020, 11.52 WIB
Pagi itu cuaca sedang cerah-cerahnya, dan seorang wanita cantik yang sedang berjalan di koridor itu membuat cuacanya semakin cerah. Namaku Agatha Filliang,orang biasa memanggilku Agatha. Lahir di Kota Malang, dan sekarang aku baru saja menambah olesan bedak tipis di wajah cantikku.
-KELAS-
Alisku terangkat saat aku menyadari ada banyak sekali bungkusan
memenuhi mejaku. Mulai dari yang berukuran kecil, sedang, hingga besar. Ah dan
juga buket bunga yang disertai surat. Perlahan ku buka surat yang ada didalam buket
itu.
Dear Agatha, kau bagai pelangi di kehidupanku, tetaplah seperti ini.
Isi salah satu surat yang kubaca. Dan saat itu juga kukemasi semua bungkusan dan buket bunga yang ada di mejaku, lalu kemudian membuangnya ke tong sampah dekat pintu kelas.
“Aku muak! Sampai kapan mereka berhenti membuatku membuang sampah sebanyak ini!” gerutuku.
"Berapa kali harus kubilang,aku benci hal romantic," tambahku yang semakin kesal.
"Apaan sih Ta, kok, kamu buang gitu aja? Sayang tau," protes Jessica kepadaku.
"Kalau kamu mau, ya, ambil aja kali," jawabku dengan nada santai dan hanya dibalas dengusannya kesal Sepertinya karena mendengar ucapanku.
-RUMAH-
Berulang kali ku coba menstabilkan mataku agar separuh jiwaku dapat sepenuhnya kembali, dengan susah payah aku mengembalikan kesadaranku yang belum juga kembali.
"Argh, kenapa mata pelajaran ini sungguh membuatku gila," ucapku tak memperdulikan tatanan rambut yang biasanya sangat kuperhatikan kini jadi acak-acakan.
Tak lama setelah itu aku mendengar seseorang sedang menekan bel rumah milikku, akupun melangkah gusar menuju sumber suara itu dan kubuka pintu.
"Amour, apa kabar?" sapanya ramah, dan aku hanya diam mematung karena tak percaya.
Dia … dia seseorang yang beberapa tahun lalu meninggalkanku tanpa kabar,menyiksaku dalam setiap sayatan yang dia buat di relung hatiku. Sudah cukup lama mata kami saling bertemu, memandang keindahan iris mata masing-masing tanpa ada lagi yang memulai percakapan diantara kami.
"Kau kembali? Untuk apa?" tanyaku sambil berdecih.
"Aku merindukanmu, Amour," ucap Aditya sambil membulatkan kedua mata indahnya.
Aku yang mendengar kata-katanya langsung menjawab, "Tapi aku tidak" dan kemudian membanting pintu rumahku kasar membuat Aditya tetap berdiri di balik pintu itu.
Menyembunyikan tangisku yang mulai pecah. Yang dari tadi kutahan saat berdiri di depannya. Kusandarkan tubuhku di balik pintu dan perlahan tubuhku merendah ke lantai.
Kita hanyalah dua orang yang saling mencintai sampai akhirnya saling membenci.
"Maafkan aku. Aku juga merindukanmu, tapi aku belum bisa melihatmu," ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
"Dit, maaf. Otakku membencimu, tapi hatiku masih mencintaimu," sesalku lagi dalam tangis.
-KEESOKAN HARINYA DIRUANG KELAS-
"Selamat pagi anak-anak!" sapa Bu Siska yang baru saja masuk
ke kelasku.
"Pagi juga bu!" jawab murid-murid bersamaan.
Tak lama kemudian aku mendengar suara-suara bisikan, sepertinya murid lain sedang terheran heran dengan Bu Siska.
“Apa dia murid baru?”
“Wah dia sangat tampan.”
“Sepertinya dia murid pindahan, aku belum pernah lihat dia sebelumnya.”
Suara-suara itu mengusikku.
Aku yang saat itu sibuk menulis cerpen menatap malas ke arah sumber yang dimaksud, dan betapa mengejutkannya aku melihat sosok pria jangkung yang sedang berdiri di depan kelas berdampingan dengan Bu Siska.
"Aditya …," lirihku tak percaya.
Dia pun menoleh kearahku sambil tersenyum simpul. "Perkenalkan namaku Aditya, senang bertemu dengan kalian," ucapnya sambil tersenyum bahagia.
Aku masih tidak percaya dengan penglihatanku.
Aku berusaha memalingkan pandangan berniat menstabilkan detak jantungku, bukan karena aku sakit jantung. Hanya saja aku belum membiasakan diri berada di sekelilingnya lagi.
"Duduklah di kursi kosong itu," ucap Bu Siska sambil menunjuk kearah sebelahku.
Dan dia hanya mengangguk tanda mengerti ucapan dari bu Siska,
"Sudah lama ya?" bisiknya pelan di telingaku sambil memposisikan duduknya.
"Anak baru itu, kamu kenal?” selidik Jessica padaku.
"Tidak," jawabku ketus.
"Tapi-" belum sempat ia melanjutkan bicaranya aku langsung memotongnya
"Sudahlah, gak usah bahas dia!" protesku sambil mengaduk-aduk minuman yang dari tadi belum aku minum karena menjawab banyak pertanyaan Jessica.
"Boleh gabung gak?" tanya seseorang dari sudut belakangku dan kini sudah berdiri di sampingku.
"Silahkan aja," jawab
Jessica dengan lancangnya
"Emmm, kayaknya aku harus pergi, deh. Udah ditunggu Bu Siska buat remed. Aku duluan ya!" ucap jessica yang kemudian meninggalkan kami berdua dalam kesunyian.
"Amour …," panggil Aditya mencoba membuka pembicaraan diantara kami.
Aku yang mendengar panggilannya tak sedikitpun merespon, aku langsung melangkah meninggalkan Aditya di bangku kantin.dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati Aditya sedang mengimbangi langkahku,tapi aku mencoba tak menggubrisnya dan mempercepat langkahku, tetapi sepertinya ia juga tak ingin kalah denganku.
"Kamu kenapa sih ngehindar dari aku? Aku salah apa?" tanyanya tanpa dosa sedikitpun.
"Kamu nanya aku kenapa? Apa kabar kamu selama ini? Kamu kemana aja selama ini? Tega banget, sih, kamu ninggalin aku tanpa kabar? Sedangkan aku saat itu butuh kamu buat nenangin aku? Dan sekarang kamu masih nanya aku kenapa?" bentakku kesal.
-Ruang Kelas-
"Agatha!" panggil seseorang dari sudut kejauhan dan saat
kuputar posisi tubuhku agar menghadap kearah sumber suara aku mendapati Jessica
yang sedang terengah-engah kesulitan mengambil napas.
"Aditya, Tha … Aditya!" ucapnya terengah-engah
"Kenapa? Aditya kenapa ...?" tanyaku cemas, "... jawab Jes, Aditya kenapa?"
Aku berlari menuju ruangan yang telah diberitahukan pegawai rumah sakit. Tanpa mengetuk pintu, aku langsung berlari masuk ke ruangan itu. Dan kudapati seorang wanita yang kuyakini adalah Stevani adik kandung Aditya sedang menangis memeluk tubuh aditya.
"Jangan tinggalkan aku sendiri kak,bangun,bangun," tangisnya pecah saat itu
Kuberanikan diri untuk melangkah mendekati keduanya, sungguh aku benar-benar tak bisa percaya.
"Aditya kenapa?" tanya ku yang disertai tangis.
Pemakaman Aditya telah usai dilaksanakan, satu-persatu penyelawat mulai meninggalkan pemakaman dan kini hanya tersisa aku dan Stevani yang masih saja menangisi kepergian Aditya.
"Bukalah, Kakakku menitipkan ini padaku beberapa hari lalu untukmu," ucap Stevani sambil menyodorkan amplop warna biru muda kesukaanku.
Dengan hati-hati ku buka amplop itu,kudapati selembar kertas kubaca perlahan.
Dear Amour, mungkin nanti saat kau membuka ini aku sudah tak ada disisimu, karena itulah aku berani menulis ini. Sebelumnya maafkan aku jika selama dua tahun belakangan ini aku tiba-tiba menghilang tak ada kabar, andai kau tau saat itu aku pergi untuk memulihkan kesehatanku, dan maaf aku tak pernah memberitahumu tentang keadaanku. Aku takut kamu cemas, hanya itu. Maaf juga aku tak ada disaat kamu membutuhkanku setahun lalu, jika kau memang ingin membenciku tak apa, aku bisa menerimanya. Ini semua memang salahku, aku sangat mencintaimu, Amour.
"Kenapa kau tak mengatakannya Aditya," sesalku.
"Maafkan aku selama ini bersikap dingin padamu,benar otakku membencimu tapi hatiku mencintaimu.maafkan aku Aditya, aku menyesalinya, maafkan aku."
Tangisku pun pecah saat itu juga.
0 Komentar