Oleh Alfiani Hana Putri,pada tanggal 25 Oktober 2021 pukul 15.05 |
Aku
Vannya Amanda, anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Dhika Ananda.
Keluarga kami sedang dalam perjalanan menuju tempat dinas ayahku.
“Ayah, sampai kapan kita tinggal di sana?”
“Bawel kamu,” sahutku menanggapi
ocehan cerewet adikku itu.
Dhika
memanyunkan bibirnya.
“Nggak lama, cuma sampai liburan sekolah
kalian selesai, anggap aja sebagai
liburan,” ujar ayahku, Alex.
“Dan bunda dengar di sana masih asri,” sambung Cindy, bundaku dengan semangat. Membuat Dhika semakin antusias.
Kami
turun dari mobil dan menatap takjub ke sekeliling, udara sangat segar dan
banyak sekali pepohonan. Bahkan jika
kalian bisa melihatnya, di sini ada sesuatu yang berbentuk seperti asap dan sebenarnya
itu adalah kabut. Sangat menakjubkan.
“Vannya mau lihat-lihat daerah sini boleh?” tanyaku meminta izin.
“Iya, hati-hati,” jawab ayah dan bunda bersamaan.
“Aku ikut, Kak Van!”
“Kak Van-kak Van aku bukan kain kafan tau.” Marahku membuat Dhika terkikik
geli. Ayah dan bunda hanya bisa menggeleng, sudah biasa melihat aku dan adikku berkelahi
karena hal sepele.
“Kakak ke sini dan kamu ke sana oke?” usulku pada Dhika saat langkah kami
berdua sudah di penghujung jalan batu ini.
“Kenapa nggak bareng aja sih?”
“Kamu takut ya? Hayooo ngaku kamu!” Aku menggoda Dhika, membuat cowok
berusia empat belas tahun itu menggeleng dan terlihat marah.
“Nggak! Siapa yang takut?!”
Dengan mengangguk aku menjawab kembali, “Bagus kalau gitu, lagian nyulik
kamu nggak ada untungnya tau.”
“Aku sumpahin Kakak ketemu Hantu!”
“Nggak apa-apa asal yang ganteng ya!” teriakku pada Dhika yang sudah
berjalan ke arah berlawanan denganku. Mataku
tidak bisa diam, menjelajah indahnya desa
yang masih asri ini membuat suasana
hati menjadi damai. Ditambah udara yang masuk ke dalam hidung terasa sangat segar
dan setiap langkahku hanya ada suara burung dan gesekan pepohonan karena angin
pegunungan yang cukup kencang, suasana ini sangat berbeda dengan kota,
yang hanya
ada kebisingan dari kendaraan dan pencemaran udara di mana-mana.
“Hai!”
Aku
terlonjak ketika seseorang tiba-tiba muncul di sampingku. “H-hai?" jawabku ragu.
“Kenalin aku Galaxy Aldevaro,” ujarnya mengulurkan tangan kepadaku.
Dengan
ragu aku akhirnya menjabat tangannya yang terasa dingin di kulitku, apa ini efek udara pegunungan? Jawabannya bukan karena
aku merasa tanganku juga dingin. Hanya saja tanganku tidak sedingin dia—Galaxy.
“Aku Vannya.”
“Kamu pasti dari kota, kan? Boleh aku temani jalan-jalan?”
Ia menebak disertai senyum
ramah membuat siapa saja yang melihat ikut tersenyum.
Aku menarik kedua ujung bibirku ke atas. Tapi sedetik kemudian aku merasa
aneh. Aku mengernyitkan dahi saat melihat bibir Galaxy
nampak sedikit pucat. “Boleh
sih. Memangnya kamu tinggal di sini?” tanyaku
membuka percakapan.
Galaxy
mengangguk pelan sampai akhirnya aku
dan dia mulai berjalan beriringan menyusuri jalan dengan saling bertanya dan
menjawab seperti teman sebaya yang akrab.
“Aku memang tinggal di
sini,” ucapnya dengan senyuman. “Tapi keluargaku sudah berencana untuk pindah ke
kota.”
Aku mengangguk paham dan mendesah pelan. “Sayang banget padahal menurutku
lebih enak di sini, aku suka suasananya.”
“Sungguh? Padahal kamu baru beberapa jam di sini udah nyaman aja?”
Aku terkejut saat Galaxy tahu aku yang memang baru sampai di daerah ini. “Kamu
tau dari mana aku baru sampai siang ini?”
“Aku tau segalanya,” ujarnya bangga membuat kami tertawa.
Galaxy—orangnya seru. Itu pandanganku untuknya setelah kami cukup lama
mengobrol. Tidak terasa sudah tiga puluh menit aku dan Galaxy
saling tukar cerita hingga langkah kami
berhenti di depan rumah yang
akan aku tempati di sini. “ Ini rumah aku, mau mampir?”
Galaxy menggeleng. Penolakan itu membuatku tersenyum paham. “Kalau gitu
hati-hati Galaxy.”
Suara Galaxy membuatku menoleh dan berbalik kala cowok itu bertanya, “Vannya,
besok aku ke sini lagi boleh?”
“Iya, see you Gal!” Aku
menjawabnya sebelum aku berlari masuk ke dalam rumah.
Saat aku masuk dan menutup pintu, bunda sudah menunggu tepat di samping
jendela yang terbuka. Aku menghampiri bunda saat ia bertanya, “Kakak
ngomong sama siapa tadi?”
"Oh,
dia Galaxy. Temen Vannya, Bun. Dia
anak sini," jawabku mengenalkan Galaxy.
“Galaxy? Anak sini?” tanya bunda kembali.
Aku
mengangguk cepat. Sesuai yang Galaxy bilang, cowok itu memang tinggal di
lingkungan yang sama denganku. Tapi aku sekilas melihat kebingungan bunda.
Hanya
saja aku tidak bertanya lebih lanjut dan memilih masuk ke dalam kamar.
* * *
Di dalam kamar, aku terus merutuki kebodohanku yang tidak bertanya lebih mengenai Galaxy
tadi.
“Bego banget sih, Van?Kenapa tadi nggak minta
nomor hapenya?! Kenapa juga aku nggak tanya dia sekolah dan tinggal di
mana?! Ah, aku lupa astaga!”
Tapi esoknya aku terbangun dan sadar bahwa ini pagi yang aku tunggu.
Aku
langsung keluar dari rumah setelah bersiap akan segalanya
dan terkejut ketika melihat Galaxy tengah berdiri dengan melambaikan tangan di seberang
jalan. Tempat kemarin kami berpisah.
“Galaxy.”
“Hai, Vannya!”
“Dari tadi?” tanyaku merasa tidak
enak.
“Nggak kok. Kita lanjut lagi lihat-lihat?”
Kami kembali berjalan bersisian, sesekali aku menatap ke samping tepat pada
sosok Galaxy yang hari ini terlihat berbeda. Kulitnya semakin pucat, bahkan
bibir cowok itu ikut memucat, membuat siapa saja yang melihat khawatir. Seperti
aku saat ini, sangat khawatir.
“Galaxy kamu bener nggak apa-apa?”
Dia
menoleh ke arahku lalu tersenyum dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Senyum yang menenangkan.
“Iya, Van, aku nggak apa-apa.”
“Boleh nggak aku main ke rumah?” tanyaku penuh hati-hati.
“Rumahku?”
Aku
mengangguk dan Galaxy membalasnya dengan anggukan juga.
Tidak sampai lima menit kami
berjalan menuju rumah Galaxy.
Sampai akhirnya aku dan dia berada di depan rumah bercat putih. Galaxy mengajakku
masuk ke dalam, mataku menjelajah setiap inci
rumahnya. Sepi dan berbeda. Dua
hal yang bisa aku gambarkan pertama kali melihat hingga masuk ke dalam.
“Vannya maaf AC-nya lagi mati.”
“Eh, nggak apa-apa, Gal!” jawabku tidak enak, Galaxy seperti tahu saja kalau
aku sedikit kepanasan. “Orang
tuamu, sekarang di mana?”
Dia
tersenyum di bibir pucatnya. “Kemarin
malam mereka pergi ke kota, buat ngurus kepindahan.”
“Kenapa kamu nggak ikut?”
“Aku di sini masih sekolah dan juga masih ingin nemenin kamu keliling
kampung.”
Aku tertawa membuat bibir pucat cowok itu masih mempertahankan senyumannya.
“Di sini kamu sekolah di mana?”
“SMA Sanjaya.”
Aku mengangguk mengerti, mataku menatap tembok yang berwarna hitam hangus
padahal di sisi lainnya berwarna putih. Dan itu ada di setiap pojok tembok.
“Gal, itu kenapa? Maaf aku terlalu banyak tanya.”
Seperti biasa Galaxy menggeleng, tidak mempermasalahkan apa yang aku
tanyakan.
“Oh, itu mungkin karena bocor.”
Dan
banyak lagi percakapan yang kami bicarakan, hingga waktu sudah hampir siang aku
pamit untuk pulang.
Tadi aku hanya berpamitan dengan Dhika sebab bunda sedang ke pasar. Dan ayah?
Ia sudah berangkat dinas pagi-pagi buta.
Aku berdeham. “Gal, aku pulang ya? Dan kalau kamu sakit minum
obat oke?”
saranku membuat Galaxy
mengangguk.
“Iya, mau aku antar?”
“Nggak—nggak usah aku tau jalan pulang kok.
Aku pulang ya!”
Sebelum berbalik, dia memegang tanganku membuatku
terdiam. Mencoba bernapas
dengan benar saat mata kami saling bertemu.
“Besok aku mau nunjukin sesuatu, kamu mau ikut?”
ucapnya serius.
Aku
tersenyum dan mengangguk antusias.
Malamnya aku dan keluargaku kumpul
di ruang tengah. Banyak perbincangan dan candaan hingga pertanyaan bunda
membuatku terdiam.
“Kamu masih main sama Galaxy?”
Pertanyaan bunda
membuat semua mata tertuju padaku. Dan
tentunya menunggu jawaban dariku.
“Masih. Kenapa, Bunda?” Aku balik bertanya.
“Hmm nggak apa-apa Kakak, Bunda cuma tanya.”
“Awas loh Kak nantiiiii—”
“Nanti apa?” tanyaku galak saat si bocil Dhika ikut menyambar
mengenai Galaxy.
“Nanti dia orang jadi-jadian gimana?”
Aku langsung melempar kotak tisu pada Dhika membuat ayahku—Alex menggeleng
tidak memperbolehkan sifat bar-barku kambuh.
“Maaf, Yah. Lagian Dhika ngomongnya gitu. Bikin kesel.”
“Lagian aku nggak pernah lihat mukanya Galaxy.”
“Heh! Dia lebih tua dari kamu ya! Gimana kamu mau lihat mukanya Galaxy kalo
kamu sendiri nggak pernah keluar dari rumah?”
Jelasku panjang lebar membuat Dhika berdecak tidak ingin kalah. Sedangkan
ketika mataku ke bunda, beliau terdiam dengan menatapku dalam.
Malam berganti pagi namun aku tidak bisa
keluar dari rumah, aku menghela napas kasar melihat hujan masih turun. Membuat
kabut semakin tebal dan hawa dingin makin terasa.
“Kapan reda? Galaxy pasti nunggu,” ocehku sedari tadi.
Hingga pelangi menampakkan
diri di langit yang sedikit berkabut. Begitu tahu, aku langsung keluar dari
rumah dan tidak terkejut lagi
saat Galaxy sudah di depan
rumahku.
“Hai! Maaf ya baru keluar. Kamu dari tadi di sini? Kenapa nggak masuk?” ucapanku
ketika sudah di depannya
dengan perasaan khawatir lagi.
“Nggak, aku baru aja sampai.”
Aku mengangguk lega. Kami berjalan dengan
keheningan. Tidak biasanya Galaxy seperti ini. Aku hanya mengikuti langkah
Galaxy hingga mataku membulat takjub karena pemandangan di depan mataku saat
ini.
“Danau!?”
Mataku menatap takjub akan keindahan tersembunyi di lingkungan sekitarku,
sangat indah. Air yang tenang berwarna biru bersih. Bahkan ada kursi kayu di
sini, Galaxy sudah duduk lebih dulu sementara aku masih terpana akan keindahan
nyata danau.
“Vannya, sini duduk!”
“Kamu tau tempat sebagus ini?”
“Kamu suka?” tanya Galaxy saat aku sudah duduk tepat di sampingnya.
“Tentu. Aku suka. Sangat suka.”
"Ini tempat favoritku. Tempat terakhir.
Tenang, damai, dan sunyi."
Ucapnya dengan memandang lurus. Membuatku mentap
Galaxy dengan mengernyit tidak mengerti, akan kepribadian seorang Galaxy.
“Kenapa kamu sukanya yang seperti itu?”
“Rahasia. Tapi kamu akan tau secepatnya.”
Cowok itu kembali tertawa di bibir pucatnya. Tangan cowok itu terulur
dengan menyodorkan bando yang terbuat dari ranting serta bunga-bunga cantik.
“Buat kamu supaya nggak sedih nantinya.”
“B-buat aku? Kenapa kamu ngomong gitu?”
“Nggak apa-apa, tapi ingat pesan aku, Van! Ini supaya kamu nggak sedih.”
Aku hanya mengangguk, sebelum teringat aku membawa ponsel dan segera
mengeluarkannya.
“Kalau gitu kita foto aja ya ya ya?”
“T-tapi aku nggak bisa foto.”
“Kenapa? Udahlah Gal, ayo! Aku pakai ini ya,” ujarku dengan semangat menggunakan
Bando buatan Galaxy. Mereka tertawa
bersama-sama ketika melihat hasil foto di ponsel dan tidak lupa aku meminta nomor
telepon Galaxy.
“Nanti aku cetak fotonya oke?”
Dia
hanya mengangguk. Membuat aku kembali
bertanya tentang kondisinya. “Kamu udah minum obat?
Muka kamu tambah
pucat dan tangan kamu makin dingin, Gal."
“N-nggak apa-apa, Vannya.”
“Beneran? kamu berkeringat juga, Gal, padahal di sini dingin.”
Tambahku melihat keadaan Galaxy yang makin
berbeda. Membuat aku semakin
khawatir namun sepertinya kekhawatiranku tidak berdasar bagi Galaxy. Cowok itu
tetap terlihat tenang.
“Aku antar kamu pulang.”
Aku
hanya mengangguk dan berjalan mengikuti langkahnya. Hingga langkah kami berhenti di seberang rumahku.
“Galaxy, hati-hati di jalan!”
Galaxy hanya mengangguk sebelum berbalik aku
memanggilnya kembali, membuat cowok itu menungguku kembali berujar, “Gal,
tunggu! Tunggu sebentar!”
Tanganku terangkat menyentuh keningnya. Cowok itu diam menutup mata saat tangan hangat Vannya
berada di dahinya. Nyaman.
“Masih dingin. Nanti pas pulang
langsung minum air hangat ya?”
Saranku yang hanya mendapat jawaban
anggukan. Sebelum Galaxy akhirnya
pamit membuatku mengangguk kaku. Terasa aneh. Karena itu aku mengepalkan kedua
tangan kuat menahan rasa aneh.
“Aku pulang, Vannya. Selamat tinggal!”
Galaxy mendekat dan menyentuh pipi kananku,
membuat aku terdiam membeku.
Semakin menatap punggung cowok itu sebelum benar-benar menghilang di
persimpangan jalan. Baru aku masuk ke rumah dengan
senyum mengembang, tanganku dengan sendirinya menyentuh pipi bekas sentuhan
Galaxy. Cowok itu bena-benar
membuatku—
“Vannya!”
Seketika aku langsung menurunkan tangan saat bunda memanggilku tiba-tiba
membuat pipiku yang merona malu tertangkap basah oleh bunda? Astaga!
“Bunda mau lihat Galaxy. Nggak apa-apa, kan?”
“Dhika ikut ya, Bun, Kak?”
Aku menatap Dhika yang baru datang dan berakhir menatap Bunda.
“Hm, boleh. Besok?”
“Sekarang aja. Bunda udah kepo.”
Bunda
tertawa membuatku hanya bisa
mengangguk. Aku, bunda, dan Dhika berjalan menuju
kediaman Galaxy. Ketika langkah kaki sampai, aku mencari-cari sebuah rumah yang
pernah aku masuki.
“Vannya mana rumahnya?”
“Di sini. Tapi bukan ini.”
Aku menunjuk ke arah rumah yang mirip dengan rumah
Galaxy.
“Hih kak yang bener? Di sini cuma ada rumah gosong ini.”
Ceplos Dhika membuat aku frustrasi. Ini bukan rumah yang pernah aku masuki
dan rumah Galaxy itu masih bagus.
“Bukan ini?”
“Bukan, Bunda! Rumah dia masih bagus,
Bun! Nggak mungkin ini!”
Tunjukku pada sebuah rumah seperti telah
terjadi kebakaran. Bunda dan Dhika
meringis sedih saat melihatku bak orang gila mencari kebenaran.
“Vannya, kita coba tanya ke orang.”
Bunda
menariku untuk bertanya pada seorang wanita yang melintas.
“Permisi. Mau tanya, Bu, penghuni rumah ini
ke mana?”
tanya Bunda.
"Oh
ini, penghuni ini dua hari lalu sudah
pindah karena kebakaran yang naas.”
Jelas wanita tersebut. Bunda dan Dhika menatapku dengan pandangan prihatin. Tangan
dan badanku bergetar, bibirku keluh ketika hendak menanyakan seseorang yang selalu bersamaku akhir-akhir ini. Dengan menahan
isak, aku mencoba bertanya, “I-ibu … ke-kenal Galaxy?”
“Nak Galaxy? Dia sudah meninggal, Dek.”
Meninggal?
“Sekitar
tiga minggu sebelum rumahnya terbakar, Nak Galaxy sudah meninggal dunia.”
Penjelasan wanita itu benar-benar membuat aku
terjatuh di tanah ketika mendengar penuturan yang tak masuk akal. B-bagaimana
BISA? YA TUHAN!
“Nggak Mungkin! Nggak mungkin, Bunda! Ya tuhan, Ga-galaxy! Nggak mungkin. Bunda harus percaya.
Ini tadi dari dia!”
Aku menunjukan bando yang dibuat Galaxy pada Bunda. Aku menangis sejadinya saat semua orang
berusaha menenangkanku. Bahkan Dhika ikut menangis tidak kuat melihat aku yang
hilang arah. Aku masih tidak percaya! Karena itu, aku meminta bunda
untuk mengantarku ke sekolah Galaxy.
Bunda mengabulkannya. Aku, bunda, dan Dhika menggunakan mobil menuju SMA
Sanjaya. Tempat sekolah Galaxy.
"Permisi maaf, Ibu. Kami di sini mau
bertanya tentang siswa yang bernama Galaxy Aldevaro."
Aku hanya diam dan berdoa saat bunda sudah bertanya pada kepala sekolah.
Air mataku tidak berhenti! Sedari tadi cairan bening ini luruh dengan
sendirinya.
“Galaxy sudah tidak bersekolah di sini. Tepatnya dia meninggal dunia karena
tenggelam di danau. Itu menurut sumber berita yang kami tahu. Saat ini sudah tiga minggu sejak kepergiannya.”
Aku
memeluk bunda dan menangis saat mendengar
penuturan kepala sekolah. Di dalam mobil pun aku masih menangis. Apa ini nyata?!
Aku masih dapat merasakan dinginnya kulit Galaxy. Senyum teduh cowok itu,
ucapan cowok itu, YA TUHAN! Aku kembali terisak pilu sendirian. Baru
beberapa jam aku dan Galaxy berbicara bersama, tertawa, dan berfoto.
FOTO!
YA, FOTO!
Dengan gemetar tanganku merogoh ponsel untuk mengecek
foto kami saat di danau tadi.
Hilang!
Hanya
wajahku yang ada.
Tawa, wajah, bahkan badan Galaxy tidak ada satu pun di dalam foto yang berjumlah sepuluh ini.
Hilang.
Yang tersisa hanya sebuah ilusi seorang Galaxy
Aldevaro yang masih membekas di ingatanku ini.
Kehangatan hanya meninggalkan asap. Dan
asap naik tanpa kekuatan. Aku mencoba menelan kegembiraanku saat bersamamu. Walau
sebenarnya itu mencekikku.
Aku dengan jelas melihatmu, merasakanmu,
menyentuhmu.
Kamu begitu dekat namun begitu jauh.
Ini lebih kejam dari apa pun yang bisa
kubayangkan.
Sebenarnya sulit bahkan untuk bernapas.
Hanya satu hal yang aku inginkan.
Bahwa kamu bukanlah sebuah ilusi.
TAMAT.
By, AlfianiHanaPutri
0 Komentar