LEBIH KURANGNYA SEPERTI INI TANPA BEGINI

 

Oleh Salomo Leonardo, Pada tanggal 5 Januari 2022 pukul 21.47

        Setiap peralihan menuju semester baru merupakan sebuah pencapaian yang patut dirayakan secara sederhana. Bagi saya, semester lima menjadi lebih spesial ketika saya melihat daftar mata kuliah yang akan saya terima terdapat mata kuliah Filsafat Komunikasi di dalamnya. Tidak heran karena filsafat bagi anak muda, terutama mahasiswa, merupakan sebuah mata kuliah yang sangat necis, seolah-olah mereka akan mempelajari proses berpikir yang berbeda. Proses kehidupan mahasiswa yang masa mudanya masih sangat berapi-api, tentu akan selalu memiliki pemikiran yang idealis, dan berbeda antar mahasiswa lainnya. Jika boleh mengutip, Tan Malaka pernah melontarkan pernyataan yang abadi, bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.

Tidak heran jika mahasiswa biasa seperti saya, sangat bersemangat menyambut Filsafat Komunikasi ke dalam jam-jam kuliah saya dengan harapan sistem pemikiran yang selama ini saya gunakan secara nyeleneh bisa lebih nyeleneh lagi, bahkan radikal kalau bisa. Jika pemerintah akhir-akhir ini menganggap kaum pemberontak atau teroris merupakan kaum yang radikal dan sengaja menyebarkan paham-paham radikalisme, maka pemerintah merusak definisi radikal itu sendiri, atau memang pemerintah tidak pernah berpikir secara radikal sehingga tidak banyak perubahan yang berdampak kepada masyarakatnya secara langsung. Berpikir radikal mendorong mahasiswa untuk berpikir secara liar, dimana hal itu merupakan sebuah privilege bagi setiap mahasiswa sebelum kita dicampuri dengan urusan kontrak kerja, trend saham, crypto, tanggal muda, dan tanggal tua. Dalam proses pengimplementasiannya, privilege tersebut bisa saja diterapkan oleh mahasiswa dalam menggugat seluruh ketidakadilan yang mereka lihat dan rasakan.

BACA JUGA : UKM Jurnalistk UBSI Mengadakan Workshop Penulisan dengan Tema Menulis Kreatif di Era 4.0

Setelah menjalani pembelajaran di semester lima, saya belum merasakan perubahan total dalam proses berpikir sebagai mahasiswa. Jujur saja dalam setiap diskusi Filsafat Komunikasi, saya lebih senang memahami dan mendebatnya dalam ruang pikiran saya sendiri karena berpikir dalam diam akan mendapatkan kebebasan berpikir yang lebih luas tanpa bisa dibatasi oleh UU ITE sekalipun. Saya bisa berpikir dalam hening tentang apa saja terkait diskusi yang sedang berlangsung dalam kelas, memahami dan menyikapinya secara salah tanpa harus dihakimi, hingga pada akhirnya saya pun terbentuk dengan sendirinya.

Tentu pemikiran mahasiswa harus dikeluarkan, harus dipublikasikan, atau minimal harus dituliskan pada secarik kertas atau diketik pada selembar dokumen Microsoft Word agar hasil pemikirannya tidak sia-sia. Seperti parfum yang memiliki berbagai macam wangi, hasil pemikiran mahasiswa juga demikian. Bau wangi pemikiran mereka harus tersebar luas, dengan begitu mereka menjadi sebuah parfum mahal yang khasnya tidak dimiliki oleh parfum lain, dan wanginya pun bertahan tanpa akhir. Tetapi saya sadar bahwa zaman makin maju, pemikiran makin mudah dibatasi oleh teknologi, hingga kita tidak lagi memiliki ruang berpikir, dan berargumen yang bebas. Namun jika masih boleh saya menggugat, seperti Wisnu Nugroho yang menggugat cara berpakaian wartawan istana, saya menggugat cara kampus dalam memfasilitasi ruang pemikiran mahasiswanya. Saya heran ketika suatu waktu saya harus menghadapi ujian Filsafat Komunikasi–yang mana sangat dicintai oleh kalangan mahasiswa–dengan menggunakan sistem ujian pilihan ganda. Saya tidak mengerti bagaimana sebuah pemikiran bisa dinilai dengan sistem pilihan ganda. Namun, apakah kampus benar-benar peduli dengan proses berpikir mahasiswa?

Oh, iya. Sudah masuk bulan Januari, ya? Selamat bersusah payah untuk kalian yang punya tanggungan pembayaran walau sudah dibantu dengan sistem 2x cicilan. Selain itu, selamat menghadapi salah ketik tahun dalam setiap penulisan tanggal.

 

 


Posting Komentar

8 Komentar