Krisis Keselamatan Seksualitas Masyarakat, Terutama Dengan Korban Laki- Laki

Oleh Maharani Putri Ansyari pada Sabtu, 17 September 2022 pukul 07.15 WIB

    Pelecehan seksual adalah tindakan seksual yang dilakukan melalui kontak fisik ataupun non-fisik. Adanya perbuatan dari pelaku yang membuat seseorang merasa tidak nyaman dan direndahkan harga dirinya, sehingga mengakibatkan korban memiliki gangguan kesehatan fisik dan mental. 

    Dewasa ini maraknya pelecehan seksual tanpa memandang bulu, semuanya bisa menjadi korban tanpa terkecuali. Anak-anak, remaja, dewasa, lansia, dan bahkan yang sudah menutup umurnya pun pelaku akan mengincarnya demi memuaskan hasrat. Perempuan menjadi sasaran empuk para pelaku untuk melakukan tindakan pelecehan seksual. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa laki-laki pun dapat menjadi korban pelecehan seksual. 

    Masih banyak khayalak yang menganggap bahwa pelecehan seksual terhadap laki-laki sebagai suatu hal yang tidak penting dan serius. Sedangkan dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak pada tahun 2022, ada 2.616 korban laki-laki yang telah melapor. Dalam kelompok umur 13-17 prevalensi kekerasan seksual lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur yang lain, yaitu 38.6%.

    Masyarakat masih banyak berasumsi bahwa tidak masuk akal atau bahkan tidak mungkin jika laki-laki dapat menjadi korban pelecehan seksual karena stereotip yang mengatakan mereka cukup kuat dan harus memiliki keberanian untuk melawan. Namun, kebanyakan korban, bisa perempuan atau laki-laki, mempunyai respons yang sama saat pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap mereka, yaitu freeze response. 


BACA JUGA : MEMAHAMI APA ITU MENTAL HEALTH AGAR TERHINDAR DARI MENTAL ILLNESS


    Berdasarkan pendapat Jim Hopper, konsultan independen dan seorang pengajar di bidang psikologi di Harvard Medical School, freeze response adalah respons alami otak manusia disaat mendapatkan serangan tiba-tiba baik secara fisik atau seksual. Korban akan menjadi kaku dan membuat pikiran mendadak kosong. Sama halnya dengan tonic immobility, yaitu saat korban diam terpaku seolah tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya atau singkatnya, mengalami kelumpuhan sementara. 

    Dulu sangatnya minim perlindungan hukum bagi korban laki-laki, pembuat aturan memandang pemaksaan persetubuhan terhadap laki-laki, tidak akan mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan, seperti halnya seorang perempuan yang dirugikan—hamil—atau melahirkan anak karena perbuatan itu, tetapi di tanggal 9 Mei 2022 telah disahkan Undang- Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang tersebut adalah suatu bentuk komitmen negara dalam memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari kekerasan dan diskriminasi. Memang hak korban perempuan dan anak masih lebih tinggi dibandingkan dengan hak korban laki-laki. Namun, sangat diharapkan dengan peluncuran undang-undang baru semua korban pelecehan seksual mendapatkan perlindungan hukum yang setara. 

    Selain pentingnya perlindugan dari hukum, korban sangat disarankan untuk memperhatikan fisik atau mental diri sendiri. Sebagian korban seksual mengalami Post- traumatic stress disorder (PTSD), maka korban dapat berkonsultasi dengan seorang konselor yang terlatih dalam menangani hal tersebut. Korban juga dapat terbuka dan bercerita ke keluarga, kerabat, ataupun teman dekat yang bisa dipercaya, tidak menghakimi, dan akan mendukung korban dalam menjalani proses tindakan pelecehan seksual. 

    Saya merasa turut prihatin dalam kondisi korban pelecehan seksual, terutama terhadap korban laki-laki yang jarang mendapatkan atensi khayalak dan hukum. Sehingga menyebabkan saya yang ikut tergerak menyuarakan kesetaraan dalam perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual karena semua korban memiliki hak asasi manusia yang sama. Besar harapan saya kepada masyarakat dan hukum untuk mulai menyadari bahwa laki-laki pun bisa menjadi korban pelecehan seksual, kekerasan, dan diskriminasi.


BACA JUGA : Mengapa Dengan Koruptor?

Posting Komentar

0 Komentar