Kontroversi Usulan Sri Mulyani: DPR Tolak Otak-Atik Anggaran Pendidikan 20%

 


Ditulis oleh: Dede Fenti Suharti
Sumber gambar: Akurat.co/Sopian

Jakarta, 08 September 2024 – Komisi X DPR Syaiful Huda menolak pengusulan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, tentang porsi anggaran wajib (mandatory spending) untuk dana pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ingin dikaji ulang.

Pada saat rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI di Gedung DPR pada Rabu (4/9/2024) lalu, Sri Mulyani atau biasa disapa dengan Ani, memberikan usulannya tentang anggaran wajib. Namun, Huda menegaskan bahwa komisinya akan mengambil sikap tegas dan memberikan penolakan atas usulan tersebut.

“Kami menolak ide otak-atik anggaran 20 persen mandatory pendidikan diambil dari pendapatan APBN bukan dari belanja. Kami menolak usul wacana dari Bu Sri Mulyani terkait dengan rencana meninjau mengotak-atik anggaran pendidikan,” ungkap Syaiful Huda, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (6/9/2024).

Menurut Huda, jika anggaran pendidikan disediakan melalui pendapatan negara, maka akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan, hal ini akan menyebabkan penurunan pada anggaran pendidikan bahkan besaran penurunannya hingga mencapai ratusan triliun.

Huda menyampaikan, sampai saat ini masih banyak dana yang dibutuhkan untuk membenahi dunia pendidikan di Tanah Air, karena masih banyak sekolah-sekolah yang sudah tidak layak dan harus dilakukan renovasi, serta peningkatan kesejahteraan guru dan tenaga pendidik yang masih harus diperhatikan lagi.

Namun menurut Ani, melihat dari belanja negara yang tidak pasti, maka belanja wajib 20 persen seharusnya dialokasikan dari pendapatan negara, bukan dari belanja negara. Contohnya seperti ketika belanja negara di Tahun 2022 yang melonjak karena subsidi energi hingga Rp200 triliun. Padahal, kenaikan subsidi bukan dari kenaikan pendapatan negara, akan tetapi karena harga minyak dunia yang melonjak.

Ani mengungkapkan bahwa situasi tersebut menyebabkan realisasi anggaran pendidikan yang seringkali terserap oleh ketentuan belanja wajib. Seperti halnya jika pada saat belanja membengkak karena subsidi Rp200 triliun sejak Agustus, namun belanja wajib pendidikan tidak mengikutinya.

Namun, Huda juga menjelaskan, tentang masalah utama di dunia pendidikan bukan dari besar anggaranya, melainkan dari pengelolaan yang kurang efektif sehingga penyerapannya tidak maksimal. Yang perlu diperbaiki adalah pengelolaannya, karena pada dasarnya dana untuk pendidikan yang tepat itu harus berdasarkan belanja negara, bukan pendapatan negara.

Posting Komentar

0 Komentar