Kekhawatiran Rapat Tertutup Terhadap Revisi UU TNI dan Perluasan Kewenangan

 


Ditulis Oleh: Ghina Shaqira 

 Sumber Gambar: Tirto.id 

Jakarta, 16 Maret 2025 – Rapat yang membahas revisi Undang-Undang TNI dilaksanakan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR di Hotel Fairmont Jakarta pada tanggal 14 dan 15 Maret 2025. Kegiatan ini dilakukan secara tertutup dan menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, terutama karena dilaksanakan pada akhir pekan. Namun, dengan dilaksanakannya rapat di hotel mewah tersebut, ada kekhawatiran bahwa UU ini dapat disahkan lebih cepat dari yang dijanjikan.

Masyarakat sipil, termasuk sejumlah tokoh seperti Rocky Gerung, melancarkan kritik keras terhadap rapat pembahasan revisi UU TNI yang digelar di Hotel Fairmont, sebuah hotel mewah di Jakarta. Kritik ini berpusat pada pemilihan lokasi yang dianggap tidak mencerminkan efisiensi anggaran, terutama di tengah kebijakan pemangkasan belanja negara. Selain itu, sifat tertutup dari rapat tersebut memicu kekhawatiran tentang minimnya transparansi dan partisipasi publik terhadap tata kelola pertahanan negara. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI Indra Iskandar, menyatakan bahwa biaya sewa tempat tersebut menggunakan tarif pemerintah yang telah ditentukan. Ia menegaskan bahwa pelaksanaan rapat di lokasi tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga banyak pihak berpendapat bahwa meskipun menggunakan tarif pemerintah, lokasi yang mewah tetap menunjukkan ketidakpekaan terhadap kondisi masyarakat dan menciptakan kesan eksklusif.

Dalam pembahasan RUU TNI, terdapat tiga klaster utama yang menjadi fokus perhatian, yaitu posisi Kementerian Pertahanan dan TNI, penempatan anggota TNI aktif dalam jabatan sipil, serta ketentuan mengenai usia pensiun bagi prajurit bagi Bintara dan Tamtama 53 tahun sedangkan bagi Perwira 58 tahun. Selain itu, salah satu isu yang memicu kontroversi dalam revisi ini adalah penambahan kewenangan TNI di beberapa bidang, termasuk penanganan narkoba, keamanan siber, serta penempatan anggota TNI di lembaga-lembaga sipil seperti Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.

H Mohamad Syafi'i Alielha Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyayangkan pembahasan RUU TNI tersebut yang terkesan buru-buru dan dilakukan secara tertutup di Fairmont Hotel, Jakarta, pada Sabtu 15 Maret 2025. 

“Saya kira itu tidak masuk akal bahwa Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung butuh kompetensi hukum yang sangat tinggi dan TNI tidak dididik untuk ke sana,” ucapnya di Hotel Acacia pada Sabtu (15/3/2025), dikutip dari suarasurabaya.net tanggal 16 Maret 2025. 

Yenny Wahid, sebagai tokoh masyarakat dan aktivis, mengingatkan agar TNI tidak terlalu terlibat dalam ranah sipil, karena hal tersebut dapat berdampak negatif pada demokrasi dan profesionalisme militer. Ia menekankan bahwa jika TNI memasuki posisi-posisi sipil, mereka harus melepaskan identitas keprajuritan mereka. Yenny mengungkapkan bahwa keterlibatan TNI dalam urusan sipil berpotensi merusak kualitas berdemokrasi di Indonesia. 

“Rakyat mengapresiasi itu, kita berharap TNI bisa fokus berkonsentrasi dalam persoalan pertahanan negara dan tidak tergoda untuk masuk ke ranah-ranah sipil karena itu bisa membawa kerancuan dalam kualitas berdemokrasi kita,” ucapnya di Kantor Wahid Foundation, Menteng pada Jumat (14/3/2025), dikutip dari suarasurabaya.net tanggal 16 Maret 2025.

Beberapa pihak melakukan perbandingan antara kritik yang dilontarkan terhadap RUU TNI dengan RUU Kejaksaan dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), yang juga dibahas di hotel tetapi tidak mendapatkan banyak penolakan.

Posting Komentar

0 Komentar