Sumber Gambar: Tribbunnews.com
Jakarta, 27 Maret 2025 - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan hingga mendekati level terendah sejak krisis moneter 1998. Pada perdagangan Selasa 25 Maret 2025, rupiah ditutup di angka Rp16.622 per dolar AS, mendekati rekor terendah sepanjang sejarah, yaitu Rp16.900 per dolar AS pada 17 Juni 1998. Namun, Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kondisi ekonomi saat ini berbeda dengan situasi pada tahun 1998.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, menjelaskan bahwa meskipun nilai tukar rupiah terus mengalami depresiasi, pelemahan kali ini terjadi secara bertahap, tidak seperti pada krisis 1998 yang berlangsung sangat cepat dan drastis.
“Kalau kita simpulkan, apakah kondisi saat ini masih jauh dari 1998? Saya berani afirmasi, ini masih jauh,” ujar Solikin dalam Taklimat Media di Jakarta, Rabu (26/3/2025).
Ia menegaskan bahwa pada 1998, rupiah terjun bebas dari di bawah Rp10.000 per dolar AS langsung ke level Rp16.000 per dolar AS dalam waktu singkat. Sebaliknya, depresiasi rupiah saat ini terjadi secara lebih terkendali, setelah sebelumnya bertahan di kisaran Rp15.000 per dolar AS.
Selain perbedaan dalam pola pelemahan rupiah, kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih stabil dibandingkan era krisis moneter. Salah satu indikator utama adalah cadangan devisa yang jauh lebih besar.
Pada 1998, cadangan devisa Indonesia hanya sekitar 20 miliar dolar AS, sedangkan per akhir Februari 2025, cadangan devisa mencapai 154,5 miliar dolar AS. Ini memberikan kapasitas yang lebih besar bagi pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan ekonomi secara keseluruhan.
“Dulu, kerentanan di sektor keuangan dan utang tidak teridentifikasi dengan baik. Sekarang BI dan pemerintah sudah memiliki mekanisme lebih kuat untuk mendeteksi potensi pelemahan ekonomi,” tambah Solikin.
Lebih lanjut, krisis 1998 juga diiringi dengan berbagai faktor yang memperburuk situasi, seperti lemahnya fundamental ekonomi, ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola krisis, serta tingkat inflasi yang sangat tinggi. Saat ini, indikator makroekonomi seperti Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, kredit, permodalan, dan transaksi berjalan masih menunjukkan kestabilan.
BI dan pemerintah terus melakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mengantisipasi potensi risiko di tengah ketidakpastian global. Faktor sosial, politik, serta perkembangan teknologi juga menjadi perhatian utama dalam upaya mitigasi risiko ekonomi.
“Krisis bisa muncul dari faktor di luar ekonomi, seperti operasional atau teknologi digital. Itu sebabnya, penanganan krisis harus dilakukan secara terintegrasi,” tutup Solikin.
Melalui berbagai langkah yang telah diambil, BI optimistis bahwa meskipun rupiah mengalami pelemahan, kondisi ekonomi Indonesia masih tetap kuat dan jauh dari skenario krisis seperti yang terjadi pada 1998.
0 Komentar