Calon Dokter Spesialis Diwajibkan Menjalani Tes Psikologi, Sebagai Dampak Dari Kasus Pemerkosaan Terhadap Anak Pasien

Ditulis Oleh: Zahra Febrianti

Sumber Gambar: Kompas.com

 

Jakarta, 21 April 2025 - Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, berencana mewajibkan pemeriksaan kesehatan mental bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Kebijakan tersebut diberlakukan mengingat adanya beberapa kasus yang melibatkan peserta program tersebut.

Langkah ini diambil sesudah terungkapnya kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Priguna Anugerah Pratama, seorang dokter residen PPDS dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat.

"Yang pertama adalah pada saat rekrutmen dari calon peserta pendidikan dokter spesialis, itu diwajibkan untuk mengikuti tes psikologis," ucap Budi saat konferensi pers di Gedung Kemenkes, Jakarta, Senin (21/4/2025).

Budi menjelaskan bahwa pemeriksaan psikologis ini penting untuk menilai kondisi mental calon dokter spesialis sebelum mereka resmi menjalani peran sebagai dokter spesialis. Selain bertujuan untuk menilai kondisi kejiwaan, tes psikologi ini juga dilakukan guna memastikan mahasiswa kedokteran mampu melanjutkan pendidikannya dengan baik.

"Adanya tes kejiwaan kita bisa mengetahui kondisi kejiwaannya dari yang bersangkutan untuk bisa melakukan pendidikan. Nantinya bisa melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya," lanjut Budi.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa banyak peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) justru dibimbing oleh senior atau kakak tingkat mereka. Padahal, sebaiknya para dokter PPDS mendapatkan pengajaran dan pengawasan langsung dari konsulen atau dosen pembimbing. Namun, kenyataannya mereka lebih sering hanya berada di bawah pengawasan para senior di kampus.

"Kami banyak mendengar bahwa pendidikan dokter spesialis di rumah sakit itu tidak dilakukan langsung oleh konsulennya tidak dilakukan langsung oleh gurunya. Tapi dilakukan oleh seniornya oleh kakak kelasnya," kata Budi, saat konferensi pers secara daring, Senin (21/4/2025). 

Budi juga menetapkan kewajiban pemeriksaan psikologis secara berkala setiap enam bulan bagi seluruh peserta PPDS. Langkah ini bertujuan untuk memantau kesehatan mental mereka sepanjang masa pendidikan.

"Kami juga ingin memastikan setiap enam bulan screening psikologis. Sehingga kondisi kejiwaan para peserta didik bisa kita monitor," ujar Budi.

Sebagai tambahan informasi, Priguna Anugerah melakukan pemerkosaan terhadap keluarga pasien pada pertengahan Maret 2025 di salah satu ruangan lantai 7 Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Ia menggunakan modus dengan berpura-pura meminta korban menjalani pemeriksaan crossmatch, yakni mencocokkan golongan darah sebelum transfusi. Namun, alih-alih menjalankan prosedur medis, Priguna justru membius dan memperkosa korban. Belakangan terungkap bahwa dua orang lainnya juga menjadi korban dengan modus serupa. Saat ini, Priguna telah ditahan dan resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Menanggapi hal tersebut, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyambut positif kebijakan tes kesehatan jiwa berkala bagi peserta PPDS. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah terobosan untuk menjaga mutu dan profesionalisme para dokter yang berperan sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan.

"Profesionalisme tenaga medis tidak hanya ditentukan oleh kompetensi klinis, tetapi juga kesiapan psikologis dalam menghadapi beban kerja, tantangan etik, serta tekanan emosional yang menyertai praktik kedokteran," demikian keterangan resmi PDSKJI yang diterima detikcom, Senin (14/4/2025).

PDSKJI menyatakan bahwa pemeriksaan kesehatan jiwa secara berkala dapat memungkinkan deteksi dini terhadap potensi gangguan psikologis, sekaligus menjadi bagian dari sistem pendukung yang mendukung profesionalisme tenaga medis secara sehat dan berkelanjutan. Kesehatan jiwa para tenaga medis juga perlu mendapatkan perhatian bersama, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem kesehatan nasional.

"Kami meyakini bahwa dokter yang sehat secara mental akan mampu memberikan pelayanan yang lebih aman, empatik, dan berkualitas tinggi. Dalam konteks ini, pelaksanaan tes kesehatan jiwa tidak boleh dipandang sebagai bentuk penghakiman, melainkan sebagai bagian dari sistem mutu dan pembinaan profesional yang bersifat manusiawi," lanjut keterangan tersebut.

PDSKJI juga memberikan sejumlah rekomendasi terkait pelaksanaan skrining kesehatan jiwa untuk tenaga medis, termasuk peserta PPDS. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Pelaksanaan skrining kesehatan jiwa secara berkala di seluruh institusi pendidikan kedokteran spesialis, minimal satu kali setiap tahun, menggunakan wawancara klinis serta alat ukur psikologis yang telah tervalidasi secara ilmiah.

  2. Penerapan pendekatan edukatif dan non-stigmatisasi dalam proses pemeriksaan, untuk memastikan bahwa tes ini menjadi bagian dari pengembangan profesional, bukan sekadar alat kontrol atau penilaian.

  3. Penyediaan layanan pendampingan psikologis dan psikiatri yang sistematis di setiap institusi pendidikan, agar peserta PPDS yang membutuhkan dukungan dapat segera mengakses layanan yang tepat.

  4. Mendorong kolaborasi lintas profesi antara institusi pendidikan, organisasi profesi kedokteran, dan lembaga pemerintah, untuk mendukung implementasi kebijakan ini secara berkelanjutan.

"Menjaga kesehatan jiwa dokter adalah bagian dari menjaga keselamatan pasien dan mutu layanan kesehatan secara keseluruhan. PDSKJI berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis pemerintah dan institusi pendidikan dalam membangun sistem kesehatan yang lebih manusiawi, sehat, dan profesional," kata PDSKJI.

Kebijakan tes psikologi wajib bagi calon peserta PPDS merupakan langkah progresif dalam upaya mereformasi sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Dengan menekankan pentingnya aspek kesehatan mental dan etika, kebijakan ini membawa harapan besar untuk melahirkan dokter spesialis yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki empati dan integritas sebagai manusia.

Namun, keberhasilan kebijakan ini tidak cukup hanya dengan peraturan di atas kertas. Diperlukan edukasi publik yang luas, ketersediaan tenaga psikolog di setiap institusi pendidikan kedokteran spesialis, serta mekanisme pengawasan yang berkelanjutan dan independen.

Masa depan dunia medis di Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana implementasi kebijakan ini dijalankan, apakah akan menjadi perubahan positif, atau justru menjadi beban baru dalam sistem yang sudah kompleks. Jika dijalankan dengan bijak, transparan, dan konsisten, kebijakan ini berpotensi besar untuk tidak hanya merevolusi sistem pendidikan dokter spesialis, tetapi juga mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap dunia kedokteran yang selama ini sempat tercoreng.







Posting Komentar

0 Komentar