Sumber Gambar: Kompas.com
Cikarang, 10 April 2025 — Dalam momentum penting bertajuk Sarasehan Ekonomi yang diselenggarakan di Menara Mandiri, Jakarta, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan kebijakan strategis terkait perdagangan nasional yang langsung menarik perhatian publik dan pelaku usaha.
Dalam pidatonya, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan untuk segera merealisasikan penghapusan sistem kuota impor, khususnya terhadap komoditas yang berkaitan langsung dengan kebutuhan pokok masyarakat luas.
Salah satu komoditas yang menjadi sorotan utama dalam kebijakan ini adalah daging sapi. Presiden menilai bahwa kebutuhan pangan seperti daging tidak boleh terhambat oleh hambatan administratif yang justru menekan pasokan dan harga di pasar domestik.
“Siapa yang mampu, siapa yang mau impor silahkan, bebas. Tidak lagi kita tunjuk tunjuk hanya ini yang boleh, itu tidak boleh,” ucap Prabowo saat menghadiri acara Sarasehan Ekonomi yang digelar di Menara Mandiri, Jakarta, pada Selasa, 8 April 2025.
Presiden juga menyebut bahwa arahan ini telah dikomunikasikan secara langsung kepada sejumlah pemangku kepentingan penting di pemerintahan, seperti Menteri Koordinator, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, serta Ketua Dewan Ekonomi Nasional. Hal ini menandakan bahwa langkah penghapusan kuota impor bukan sekadar gagasan, melainkan strategi yang akan masuk ke dalam kerangka kebijakan nasional secara menyeluruh.
“Mau impor apa, silahkan buka saja. Rakyat kita juga pandai kok, iya kan? Bikin kuota-kuota abis itu perusahaan A, B, C, D yang hanya ditunjuk. Hanya dia boleh impor, enak saja,” ujar Prabowo.
Lebih lanjut, Prabowo menjelaskan bahwa penghapusan kuota impor merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyederhanakan prosedur birokrasi yang selama ini dianggap menghambat iklim usaha di Tanah Air. Menurutnya, kemudahan dalam perizinan dan pengadaan barang impor akan meningkatkan efisiensi ekonomi serta mendukung iklim investasi yang sehat dan kompetitif.
Menurut Pelaksana Tugas, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri sekaligus Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag), Isy Karim, penghapusan kuota impor bukan perkara sederhana. Menurutnya, semua harus dilihat dari keseimbangan antara kepentingan industri hulu dan hilir.
"Nanti dengan kepentingan hulu dan hilir itu yang nanti harus diimbangi. Jadi nanti manakala itu untuk kepentingan, misalkan, kepentingan hulu, untuk kepentingan industri, untuk kepentingan produksi dalam negeri, nah itu yang harus dipertimbangkan, dihitung betul-betul berapa kebutuhan dan ditetapkan dalam neraca komoditas," jelas Isy Karim saat ditemui di Auditorium Kemendag, Rabu (9/4/2025).
Karim pun menjelaskan, prinsip dalam pengelolaan neraca komoditas (NK) adalah menghitung antara produksi dan konsumsi nasional, sehingga impor hanya dilakukan untuk menutup kekurangan.
"Karena prinsipnya di neraca komoditas itu kan berapa produksi nasional, kemudian berapa konsumsi nasional. Nah kekurangannya itu tentu diimpor," lanjut Isy Karim.
Namun demikian, keputusan tersebut tidak luput dari kritik dan kekhawatiran sejumlah pihak, terutama kalangan akademisi dan pengamat ekonomi. Salah satunya datang dari Pengamat Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, yang menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi membawa dampak negatif yang cukup serius terhadap sektor produksi lokal.
“Jika kuota impor dihapuskan tanpa regulasi pengaman, maka industri kecil dalam negeri akan kesulitan bersaing. Para petani bisa kehilangan pasar mereka, sektor usaha mikro akan tertekan, bahkan penghapusan ini bisa berujung pada hilangnya lapangan pekerjaan,” kata Syafruddin saat ditanya CNN Indonesia.com, Rabu(9/4/2025). Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan semacam ini bisa melemahkan nilai tukar rupiah serta meningkatkan jumlah pengangguran.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi (INDEF), Andry Satrio Nugroho, turut menyuarakan keprihatinannya. Menurutnya, pelonggaran total terhadap impor bisa menjadi ancaman serius, terutama bagi industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan barang-barang elektronik ringan. Industri-industri ini, kata Andry, sedang mengalami tekanan hebat akibat kondisi ekonomi global dan telah mencatat lonjakan kasus (PHK) dalam beberapa bulan terakhir. Apabila impor dibuka secara bebas tanpa regulasi yang ketat, maka industri lokal akan kesulitan bersaing secara adil. Hal ini berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sulit dihindari sebagai dampaknya.
Tak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan impor tanpa pembatasan dapat menciptakan ketidakpastian pasar, sehingga menurunkan kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Ketidakpastian tersebut, dalam jangka panjang, dapat merusak iklim investasi dan menghambat pertumbuhan industri nasional.
Kebijakan penghapusan kuota impor ini menjadi polemik antara dua kepentingan besar: efisiensi dan kelancaran distribusi barang bagi masyarakat, melawan perlindungan terhadap industri dalam negeri yang masih tumbuh dan rentan terhadap kompetisi global. Publik kini menanti kejelasan mengenai bagaimana implementasi teknis kebijakan ini akan dilakukan, serta mekanisme pengawasan untuk memastikan bahwa langkah tersebut tidak merugikan sektor strategis nasional.
Mengingat berbagai pertimbangan dan konsekuensi yang mungkin timbul, penghapusan kuota impor menjadi ujian nyata bagi pemerintahan Prabowo dalam menyeimbangkan antara semangat deregulasi ekonomi dengan tanggung jawab perlindungan terhadap pelaku usaha dalam negeri.
0 Komentar