#KaburAjaDulu: Ketika Generasi Muda Memilih Pergi di Tengah Keraguan

Sumber Gambar: Kompas.com

Ditulis Oleh: Khairunnisa Zabrina Salsabila

Jakarta, 17 Februari 2025 – Tren media sosial #KaburAjaDulu menjadi perbincangan hangat di kalangan generasi muda di Indonesia. Tren tagar #KaburAjaDulu ini ramai di media sosial seperti X, TikTok dan Instagram. Viralnya tagar “Kabur Aja Dulu” bukan sekedar tren di media sosial, tetapi sebuah simbol perlawanan terhadap ilusi nasionalisme yang mengekang.

Tagar ini muncul atas jutaan warga negara Indonesia telah kehilangan harapan pada tanah airnya. Mereka sudah bisa melihat masa depan terbungkus dalam ketidakpastian, terperangkap, dalam sistem yang tak memberi ruang untuk tumbuh. Fenomena ini berkaitan erat dengan gaya hidup modern yang semakin kompetitif, lingkungan kerja yang penuh tuntutan, dan beban finansial yang semakin berat.

Tagar ini menjadi wadah bagi generasi muda Indonesia untuk mengekspresikan kekecewaan dan kegelisahan mereka terhadap kondisi ekonomi, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, biaya hidup yang meningkat, hingga ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan politik. Hal ini mendorong banyak anak muda untuk mempertimbangkan mencari peluang hidup di luar negeri sebagai jalan keluar dari keterbatasan di tanah air.

Hidup di negeri sendiri bukan lagi tentang merajut mimpi, tetapi tentang bertahan dalam ketidakberdayaan. Pejabat-pejabat bobrok yang sibuk gimmick, menciptakan ilusi perubahan, tetapi dibalik semua retorika, mereka gagal menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Namun, rakyat tidak tinggal diam. Mereka tidak sudi terus-menerus terjebak dalam ilusi kesejahteraan yang tak pernah nyata. Mereka tahu, sekeras apapun mereka berjuang, jalan yang mereka tempuh hanya berujung pada kebuntuan.

Tren #KaburAjaDulu muncul dan berkembang di awal tahun 2025 saat ini, seiring dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di indonesia. Media sosial memperlihatkan kehidupan yang tampak sempurna, dimana banyak orang membagikan pencapaian dan kesuksesan mereka. Tekanan ini menciptakan rasa “fear of missing out” (FOMO) yang mendorong individu merasa tidak cukup baik jika tidak mengikuti standar kesuksesan yang ada.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia berada di angka 5,32%, mayoritas pengangguran berasal dari lulusan perguruan tinggi yang belum bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kualifikasi mereka. Bank Indonesia juga mengungkapkan bahwa 40% dari gaji pendapatan generasi muda dihabiskan hanya untuk kebutuhan dasar, seperti makanan, tempat tinggal, dan transportasi. Hal ini menyebabkan banyak anak muda merasa usaha keras mereka tidak cukup untuk kestabilan finansial, pada akhirnya meningkatkan tekanan mental.

Tagar Tren ini juga merupakan manifestasi dari frustasi yang mendalam atas berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat, tentunya di kalangan generasi muda. Sejak keluarnya kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, banyak kalangan yang merasa terbebani.

Menanggapi fenomena Kabur Aja Dulu, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Abdul Kadir Karding mengatakan, jika ingin pergi ke luar negeri harus dipastikan adalah untuk bekerja. Pergi ke luar negeri harus memiliki tujuan, dengan begitu nanti pemerintah akan memfasilitasi dengan memberikan pelatihan keterampilan untuk pekerjaan yang dibutuhkan. 

Sementara itu, Pengamat Sosial Yanuar Nugroho mengatakan, banyak dari masyarakat khususnya generasi muda di Indonesia sudah tidak bisa menaruh harapan masa depan di Indonesia.

“Jadi ini merupakan bentuk ketidakpuasan dengan kondisi yang ada, dimana pemerintah masih belum memberikan keberpihakan kepada generasi muda,” ujar Yanuar, dikutip dari JabarEkspres tanggal 17 Januari 2025.

Alasan mendalam generasi muda Indonesia mengikuti tren #KaburAjaDulu adalah penurunan anggaran pada program beasiswa dan bantuan pendidikan. Sejumlah beasiswa seperti Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), serta Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Banyak perguruan tinggi yang terdampak pemangkasan dana operasional bisa saja menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk menutup kekurangan dana. Kebijakan ini berisiko membuat biaya pendidikan semakin tinggi, yang tentu saja membebani mahasiswa dan orang tua.

Faktor lain yang mendorong munculnya tagar ini yaitu minimnya lapangan kerja yang sesuai dengan kualifikasi, memaksa banyak di antara mereka untuk mempertimbangkan mencari peluang di luar negeri. Beberapa negara yang menjadi tujuan banyak kalangan muda ingin berkarir di luar negeri. Seperti, Korea Selatan, Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan Jerman. Negara-negara tersebut menawarkan peluang kerja dan kesehatan yang lebih menjanjikan dari program kesehatan di Indonesia seperti, program jaminan sosial di Indonesia (BPJS) kesehatan.

Tagar tren #KaburAjaDulu juga menuai Pro dan Kontra. Sebagian orang mendukung peluang baru, terutama yang merasa terbatas oleh kondisi sosial dan ekonomi. Mereka mencari peluang baru yang lebih baik di luar negeri. Adapun masyarakat yang kontra atau menolak pada tren ini, yaitu dampak negatif Brain Drain, sebagian orang khawatir bahwa jika orang berpendidikan tinggi dan berbakat memilih pergi ke luar negeri, Indonesia akan kehilangan potensi besar dalam pembangunan sumber daya manusia yang dapat berkontribusi untuk negara.

Terdapat postingan salah satu pengguna media sosial X, menuangkan pendapatnya mengenai permasalahan ini.

"Harusnya negara mencari cara agar masyarakatnya betah. Jadi 'bibit unggul' nya ga pindah ke negara lain. Bukan sebaliknya rakyat yg berhutang harus berbakti dan tersakiti untuk negara,"  tulis akun X @Ari_Berboedi.

Hidup di negeri sendiri bukan lagi tentang merajut mimpi, tetapi tentang bertahan dalam ketidakberdayaan. Menurut Kompas.com, Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar pelarian—ini adalah perlawanan. Mereka tidak lari, tetapi bertarung dengan cara mereka sendiri.

Mereka bukan hanya sekadar mencari nafkah, tetapi memikul tanggung jawab, tidak hanya bagi keluarga mereka, tetapi juga bagi perekonomian tanah air yang selalu bergantung pada remitansi mereka.


Posting Komentar

0 Komentar