Korupsi Minyak Pertamina: 5 Faktor Utama yang Rugikan Negara hingga Rp 193,7 Triliun

Ditulis Oleh: Khairunnisa Zabrina Salsabila

Sumber Gambar: Kompas.com

 

Jakarta, 04 Maret 2025 – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus dugaan korupsi PT Pertamina Patra Niaga yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun berlangsung selama periode 2018-2023. Dalam kasus ini, tersangka dari Pertamina diduga melakukan pembelian Pertalite, kemudian mencampurnya (blending) sehingga menyerupai Pertamax. Hasil campuran tersebut dijual dengan harga Pertamax. 

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar mengungkapkan, penetapan tersangka kasus dugaan korupsi Pertamina dilakukan setelah pemeriksaan terhadap 96 saksi, dua ahli, dan bukti dokumen yang sah. 

“Setelah memeriksa saksi, ahli, serta bukti dokumen yang sah, tim penyidik menetapkan tujuh orang sebagai tersangka,” kata Abdul, diberitakan kompas.com, Selasa (25/2/2025).

Kasus ini berawal saat pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 42 Tahun 2018 yang mewajibkan pertamina mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. Namun, para tersangka melakukan pengondisian untuk menurunkan produksi kilang. Tindakan itu membuat produksi minyak bumi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) dalam negeri tidak terserap seluruhnya. 

Minyak mentah K3S juga ditolak karena tidak sesuai spesifikasi yang diinginkan. Padahal, minyak dalam negeri memenuhi kualitas jika diolah kembali dan kadar merkuri atau sulfurnya dikurangi. Alhasil minyak mentah produksi K3S diekspor ke luar negeri, dan kebutuhan minyak mentah dalam negeri pun jadi harus dipenuhi melalui impor. 

Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan diduga membayar BBM jenis Pertalite dengan RON 90 seharga minyak RON 92 Pertamax. BBM RON 90 Pertalite kemudian dicampur menjadi RON 92 Pertamax. Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk masyarakat menjadi lebih tinggi.

Menurut keterangan Kejagung dilansir, Kamis, 27 Februari 2025, kasus ini melibatkan penyelenggara negara dengan broker. Kejagung merinci lima faktor yang membuat negara rugi atas kasus korupsi di PT Pertamina Patra Niaga terkait Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax. Kerugian Rp193,7 triliun itu sementara terbagi dalam lima komponen utama, yaitu :

  1. Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri - sekitar Rp35 triliun. 
  2. Kerugian Impor Minyak Mentah Melalui DMUT/Broker - sekitar Rp2,7 triliun.
  3. Kerugian Impor BBM Melalui DMUT/Broker - sekitar Rp9 triliun.
  4. Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) - sekitar Rp126 triliun.
  5. Kerugian Pemberian Subsidi (2020) - sekitar Rp21 triliun.

Kejagung juga telah menerapkan tujuh tersangka dalam kasus ini. Empat di antaranya merupakan petinggi di anak usaha atau subholding Pertamina, yakni: 

  1. Riva Siahaan (RS) - Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
  2. Yoki Firnandi (YR) - Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
  3. Sani Dinar Saifuddin (SDS) - Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional. 
  4. Agus Purwono (AP) - VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional. 

Selain itu, tiga tersangka lainnya adalah broker yang diduga terlibat dalam skema korupsi: 

  1. Beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa. DW
  2. Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim. GRJ
  3. Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak. 

Para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP. 

Kejagung mengungkap bahwa dalam setahun, yakni 2023, korupsi ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun. Namun, angka ini diyakini lebih besar karena skandal ini telah terjadi sejak 2018 hingga 2023.

“Kemarin yang sudah disampaikan dirilis itu Rp193,7 triliun, itu tahun 2023. Makanya, kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, di Jakarta, Rabu (26/2/2025) mengutip Kompas.com.

Jika dihitung secara kasar dengan asuransi kerugian tahunan mencapai Rp193,7 triliun, maka total potensi kerugian selama lima tahun bisa mencapai Rp968,5 triliun. 

"Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempus-nya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu (Rp193,7 triliun) setiap tahun, bisa kita bayangkan sebesar kerugian negara," tambah Harli.

Selain itu, Kejagung juga menyoroti kemungkinan adanya kerugian tambahan akibat kualitas BBM yang didistribusikan, jika kualitasnya lebih rendah dari spesifikasi yang seharusnya, selisih harga ini juga bisa menjadi bagian dari totalnya kerugian negara.

Kejagung terus menyelidiki kasus ini dengan melibatkan ahli keuangan guna memastikan besaran kerugian negara yang sesungguhnya, dan akan terus mendalami kasus ini lebih lanjut. 

Posting Komentar

0 Komentar