Sumber Gambar: Tribun Jakarta
Jakarta, 31 Agustus 2025 – Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menjadi pusat perhatian setelah mengeluarkan pernyataan yang menuai kontroversi saat kunjungan kerjanya di Polda Sumatera Utara pada 22 Agustus 2025. Dalam kesempatan itu, Sahroni menyebut bahwa siapa saja yang ingin membubarkan DPR adalah orang tolol sedunia, yang disampaikan di depan pejabat kepolisian.
"Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia. Kenapa? Kita nih memang orang semua pintar semua? Enggak bodoh semua kita," kata Sahroni dalam kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara, Jumat (22/8/2025) dikutip dari Tribun Jakarta pada (31/8/2025).
Pernyataan itu dengan cepat viral di media sosial, tersebar dalam format video singkat, dan mendapat kritik keras karena dianggap merendahkan masyarakat yang notabenenya membiayai gaji serta fasilitas anggota DPR melalui pembayaran pajak.
Mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri), Oegroseno, turut angkat suara memberikan kritik tajam terhadap pernyataan Ahmad Sahroni. Ia menilai bahwa ucapan tersebut sangat tidak layak dilontarkan oleh seorang pejabat publik, apalagi oleh anggota DPR yang memiliki tugas mewakili suara rakyat.
Kritik publik bertambah tajam setelah Salsa Erwina Hutagalung, diaspora Indonesia yang kini tinggal di Denmark dan peraih juara debat internasional, menantang Sahroni untuk mengadakan debat terbuka. Ia juga mengusulkan agar debat tersebut diawasi oleh juri independen dari tingkat internasional agar penilaiannya lebih adil dan objektif.
Salsa menekankan bahwa posisi Sahroni sebagai anggota DPR berasal dari suara rakyat, sehingga tidak seharusnya ia mengeluarkan pernyataan yang merendahkan masyarakat yang menggaji dirinya melalui dana negara.
Alih-alih menyambut tantangan debat yang diajukan kepadanya, Ahmad Sahroni justru memilih menolak secara terbuka. Ia memberikan respons yang terkesan santai dan meremehkan melalui unggahan di akun Instagram pribadinya.
“Saya tidak akan meladeni orang yang mengajak debat saya. Saya mau bertapa dulu supaya pintar karena saya masih bodoh,” katanya di akun instagram pribadinya @ahmadsahroni88.
Ketegangan masih berlanjut setelah Salsa mengungkapkan bahwa tim Sahroni diduga mendatangi keluarganya di Pamulang untuk memberi tekanan, yang menurutnya merupakan bentuk intimidasi politik yang tidak dapat diterima, ia juga memperingatkan akan membawa kasus ini ke tingkat internasional jika tindakan tersebut terus berlanjut demi mendapatkan perhatian yang lebih luas.
Ahmad Sahroni akhirnya memberikan klarifikasi terkait pernyataannya. Ia menjelaskan bahwa kata “tolol” yang diucapkannya bukan ditujukan kepada masyarakat secara umum, melainkan kepada cara berpikir yang menurutnya kurang logis terkait wacana pembubaran DPR yang ramai diperbincangkan, khususnya isus soal gaji dan tunjangan anggota.
Kontroversi ini bermula dari keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyetujui pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan bagi anggota dewan sebagai pengganti rumah dinas yang dihapuskan. Kebijakan ini sejak awal mendapatkan penolakan keras dari masyarakat karena dianggap berlebihan dan tidak sesuai dengan kondisi ekonomi rakyat.
Politisi Partai Naional Demokrat (NasDem), Nafa Urbach, pada awalnya menyatakan dukungan terhadap keputusan pemberian tunjangan yang besar kepada anggota DPR, meskipun pernyataannya tersebut menuai banyak protes dari masyarakat yang merasa keberatan. Ia bahkan sempat menyinggung kondisi kemacetan yang dialaminya saat bepergian dari rumahnya di Bintaro menuju kantor DPR di Senayan, sambil berada di dalam mobil mewah miliknya, yang menimbulkan kritik tajam dan tudingan bahwa ia tidak peka terhadap situasi rakyat. Namun, setelah mendapatkan banyak kecaman dari publik, Nafa Urbach akhirnya secara terbuka meminta maaf dan mencabut pernyataannya tersebut.
Penolakan masyarakat terhadap tunjangan Rp50 juta bagi anggota DPR memuncak pada 25 Agustus 2025, ketika ribuan pengunjuk rasa berkumpul di kompleks DPR/MPR Senayan untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka, meskipun awalnya berlangsung damai, aksi tersebut akhirnya berubah ricuh akibat bentrokan antara massa dengan aparat kepolisian.
Pada 28 Agustus 2025, terjadi tragedi saat kerusuhan demo ketika seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan meninggal setelah terlindas oleh kendaraan taktis Brimob Barracuda, yang memicu gelombang duka dan kemarahan luas dari masyarakat serta meningkatkan kritik terhadap cara aparat dalam menangani demonstrasi.
Kematian Affan Kurniawan pada 28 Agustus 2025 akibat terlindas kendaraan taktis Brimob Barracuda saat kerusuhan demonstrasi tidak hanya menimbulkan duka mendalam, tetapi juga memicu gelombang aksi protes yang lebih besar dan meluas. Pada tanggal 29 hingga 30 Agustus, ribuan masyarakat dari berbagai lapisan turun ke jalan di berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Solo, Bandung, Makassar, Surabaya, dan Mataram, untuk menyuarakan kemarahan dan tuntutan mereka.
Aksi unjuk rasa yang awalnya hanya menentang tunjangan anggota DPR kemudian berkembang menjadi protes yang lebih terhadap cara aparat menangani keamanan dan pemerintah dalam mengelola kebijakan yang menuai kontroversi tersebut.
Kemarahan massa yang terus memuncak tidak hanya tertuju pada kebijakan dan institusi pemerintah, tetapi juga merembet ke ranah pribadi. Salah satu yang menjadi sasaran adalah kediaman pribadi Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Rumahnya diserang oleh sekelompok orang yang melakukan penjarahan, menunjukkan eskalasi emosi yang sudah melampaui batas wajar, seperti hilangnya berbagai barang berharga, termasuk dokumen pribadi dan perabotan penting di dalam rumah.
Sebuah mobil listrik mewah yang terparkir di halaman rumah Ahmad Sahroni mengalami kerusakan serius setelah dilempari batu dan dipukul dengan benda tumpul oleh massa yang marah sebagai bentuk protes terhadap dirinya. Pada saat kejadian tersebut, Sahroni dilaporkan sedang berada di Singapura, dan foto dirinya yang tengah berada di bandara tersebar luas di media sosial. Penyebaran foto ini memicu berbagai spekulasi di kalangan masyarakat, banyak yang menduga bahwa Sahroni sengaja menghindari konfrontasi langsung dengan massa yang tengah memuncak kemarahannya.
Kericuhan yang dipicu oleh tragedi Affan Kurniawan tidak hanya terbatas, tetapi meluas hingga daerah Jakarta Pusat dan Timur. Pada dini hari tanggal 29 Agustus, massa yang marah membakar ban di Jalan Otista, Jakarta Timur, sebagai bentuk protes atas insiden yang menimpa Affan.
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur, Kombes Alfian Nurrizal, membenarkan terjadinya aksi pembakaran tersebut dan menambahkan bahwa dalam kerusuhan itu sempat terjadi upaya penculikan terhadap seorang petugas lalu lintas.
Sejumlah pengemudi ojek online dan warga sekitar ikut ambil bagian dalam kerusuhan dengan menyerbu Mako Brimob Kwitang di Jakarta Pusat. Dalam aksi yang semakin memanas, mereka juga membakar pos polisi yang berada di bawah flyover Senen sebagai bentuk kemarahan kepada aparat.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengambil langkah cepat dengan mengunjungi keluarga Affan di RSCM, Jakarta Pusat, untuk menyampaikan permintaan maaf secara langsung atas insiden yang menimpa pengemudi ojek online tersebut. Selain menyampaikan permintaan maaf, Kapolri juga berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut melalui Propam dan mekanisme hukum internal Polri.
Rangkaian aksi penolakan dan kericuhan yang terjadi saat ini merupakan puncak dari kekecewaan masyarakat terhadap DPR yang dianggap jauh dari aspirasi rakyat. Kebijakan dan gaya hidup para pejabat yang terlihat penuh dengan privilege semakin memperburuk citra parlemen di mata publik. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif yang seharusnya menjadi wakil rakyat. Ketidakpuasan yang sudah lama terpendam akhirnya meledak dalam bentuk protes dan kerusuhan, menandakan perlunya perubahan besar dalam cara kerja dan sikap para wakil rakyat.
0 Komentar