Riza Chalid Terpojok, Paspor Dicabut Terkait Kasus Korupsi Migas Rp285 Triliun

 

Ditulis Oleh: Ghina Shaqira
Sumber Gambar: Kompas.com

Jakarta, 12 Oktober 2025 – Jaksa menyebut PT Pertamina (Persero) menanggung kerugian hingga sekitar Rp2,9 triliun akibat penyewaan Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) milik Riza Chalid. Penyewaan terminal tersebut dilakukan sesuai permintaan Riza Chalid, padahal sebenarnya Pertamina tidak memerlukan fasilitas tersebut. Kerugian ini muncul karena Pertamina tetap membayar sewa terminal BBM kepada perusahaan PT Orbit Terminal Merak, yang merupakan bagian dari jaringan bisnis Riza Chalid sebagai pemilik manfaat (beneficial owner).

Dugaan korupsi terkait pengelolaan minyak mentah dan produk kilang seperti bensin (Pertalite, Pertamax), solar, avtur, LPG, minyak tanah, dan aspal pada PT Pertamina selama periode 2018 hingga 2023 melibatkan banyak pihak dan aset, dengan potensi kerugian yang sangat besar, diperkirakan mencapai sekitar Rp285 triliun. Dalam kasus ini, jaksa penuntut umum telah menetapkan 18 tersangka, termasuk mantan pejabat tinggi Pertamina dan anak perusahaannya, yang diduga melakukan penyimpangan dalam berbagai aspek mulai dari perencanaan, pengadaan, hingga impor minyak mentah dan produk kilang. Praktik-praktik korupsi ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga berdampak pada ketahanan dan pelestarian energi nasional, karena menyebabkan ketergantungan yang tinggi pada impor minyak.

"Pembayaran sewa terminal BBM tersebut telah mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara selama periode Tahun 2014 sampai 2024 sebesar Rp2.905.420.003.854,00," ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).

Terminal Merak menjadi sorotan utama dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina karena merupakan salah satu fasilitas strategis yang disewakan dalam perjanjian merugikan negara. Jaksa mengungkapkan bahwa PT Pertamina menyewa Terminal BBM milik PT Orbit Terminal Merak, yang berafiliasi dengan Riza Chalid, padahal sebenarnya terminal tersebut tidak memerlukan operasional Pertamina.

Pihak Imigrasi Indonesia telah mencabut paspor Mohammad Riza Chalid pada 11 Juli 2025 dan Jurist Tan pada 22 Juli 2025 atas permintaan Kejaksaan Agung. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menyoroti ruang gerak kedua buronan yang terlibat dalam kasus korupsi besar, sehingga mereka tidak bisa bepergian ke luar negeri atau tinggal secara legal di negara lain. Meskipun paspor fisik keduanya masih ada, pemerintah telah mengirimkan surat kepada otoritas imigrasi di negara tempat mereka berada, seperti Malaysia, untuk memberitahukan pencabutan paspor tersebut. Dengan pencabutan ini, paspor keduanya tidak berlaku lagi, sehingga mereka hanya dapat kembali ke Indonesia dengan menggunakan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP).

Tanpa paspor dan dokumen perjalanan yang sah, Mohammad Riza Chalid dan Jurist Tan kini dinyatakan memiliki status ilegal atau overstay apabila tetap tinggal di luar negeri. Pencabutan paspor yang dilakukan Imigrasi Indonesia atas permintaan Kejaksaan Agung sejak Juli 2025 membuat keduanya tidak dapat melakukan perjalanan antarnegara maupun tinggal secara legal di negara lain. Jika tidak kembali ke Indonesia menggunakan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP), mereka akan dianggap tinggal secara tidak sah, yang memungkinkan otoritas imigrasi negara tempat mereka berada untuk mengambil tindakan deportasi.

“Pilihan bagi yang bersangkutan jika kembali ke Indonesia harus dengan surat SPLP (surat perjalanan laksana paspor) yang berlaku hanya sekali perjalanan atau mereka tetap berada di negara tersebut akan overstay dan ilegal,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, Selasa (7/10/2025).

Kejaksaan Agung menegaskan bahwa pencabutan paspor terhadap buronan seperti Mohammad Riza Chalid dan Jurist Tan adalah langkah strategis hukum yang bertujuan mengutip ruang gerak mereka. Strategi ini juga diikuti dengan pengajuan red notice kepada Interpol agar keduanya segera kembali ke Indonesia dan menjalani proses hukum. Pencabutan paspor merupakan bagian dari langkah maksimal yang ditempuh Kejaksaan Agung untuk menghadirkan para tersangka yang berada di luar negeri guna memberikan efek jera dan menegakkan supremasi hukum.

Kasus korupsi minyak dan produk migas yang melibatkan Mohammad Riza Chalid dan pihak-pihak terkait membuka sorotan publik terhadap pengelolaan energi di Indonesia. Kasus ini tidak hanya mengungkap praktik penipuan dalam pengelolaan aset dan keuangan BUMN seperti Pertamina, tetapi juga menuntut agar institusi negara menjalankan dengan lebih transparan dan jujur ​​dalam mengelola sumber daya strategi yang penting bagi negara.

Kasus korupsi besar yang melibatkan Mohammad Riza Chalid menjadi titik sorot publik terhadap kemampuan pemerintah dan lembaga penegak hukum dalam menangani pelaku korupsi besar. Keberhasilan atau kegagalan pengusutan kasus ini akan sangat berpengaruh pada reputasi mereka, karena masyarakat menuntut penegakan hukum yang tegas dan transparan demi menjaga kepercayaan serta integritas institusi negara.

Posting Komentar

0 Komentar